Secara umum seni pertunjukan Bali dapat dikatagorikan menjadi tiga: wali (seni pertunjukan sakral) yang hanya dilakukan saat ritual pemujaan; bebali pertunjukan yang diperuntukan untuk upacara tetapi juga untuk pengunjung; dan balih-balihan yang sifatnya untuk hiburan belaka di tempat-tempat umum. Pengkatagorian ini ditegaskan pada tahun 1971 oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan
Kebudayaan (LISTIBIYA) Bali sebagai respon dari semakin merambahnya pertunjukan untuk pariwisata ke seni-seni yang sifatnya sakral. Pertemuan ini merekomendasikan agar kesenian yang sifatnya wali dan bebali tidak dikomesialkan. Bandem dan de Boer dalam bukunya Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition secara rinci mengklasifikasi berbagai seni pertunjukan yang ada di Bali hingga awal tahun 1980-an. Tergolong ke dalam wali misalnya: Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede; bebali seperti: Gambuh, Topeng Pajegan, Wayang Wong; dan balih-balihan diantaranya: Legong, Parwa, Arja, Prembon, dan Joged.
Penulisan secara seksama tentang Seni Pertunjukan Drama dan Tari Bali pertama dipublikasikan pada tahun 1938. Ironisnya, dan tentu tidak terlalu mengejutkan, bahwa buku ini ditulis oleh orang asing bernama Walter Spies dan Beryl de Zoete. Bukankah intervensi orang asing sudah merupakan bagian dari sejarah Bali pada umumnya? Walter Spies, peranakan Rusia-Jerman, adalah nama orang asing yang sangat terkenal di Bali. Ia datang dan menetap di Bali mulai 1927 hingga jaman pendudukan Jepeng di awal tahun 1940-an; seorang pemusik, pelukis, yang mempunyai minat yang sangat mendalam pada seni pertunjukan di Bali. Peranannya dalam awal-awal perkembangan pariwisata budaya Bali sudah tidak diragukan karena dia sangat dipercaya oleh orang asing yang datang ke Bali pada waktu itu untuk memberi pengalaman budaya, khususnya seni pertunjukan di Bali. Pertunjukan seni tradisional menjadi menu rutin bagi pengunjung di Jaman itu. Pementasan dilakukan di berbagai jaba pura (bagian luar pura) di berbagai desa di daerah sekitar ubud dan juga pementasan ke Bali Hotel milik maskapai pelayaran Belanda, KPM.
Bisa dibayangkan bahwa pertunjukan drama dan tari sering tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh para wisatawan terutama karena faktor bahasa; disamping pada umumnya jadwal tour wisatawan yang padat. Karena itu intervensi dilakukan oleh agen perjalanan wisata agar pertunjukan bisa dipersingkat ke format yang lebih bisa dimengerti dan dinikmati oleh wisatawan. Genre-genre campuran mulai bermunculan yang mengkombinasikan genre satu dengan yang lain, misalnya Cak sebagai perpaduan cerita Ramayana dengan vokal dari Sang Hyang Dedari yang dilakukan oleh Spies dan seorang penari bernama Limbak; atau tari Barong dan Kris dengan cuplikan dari Mahabarata. Pertunjukan yang biasanya berdurasi satu jam. Disamping itu juga bermunculan tari-tari lepas (tari yang berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari drama); dan paket pementasan yang menggabungkan berbagai tari lepas dari genre topeng, baris, legong dan lainnya. Seni pertunjukan Bali yang sifatnya sakral biasanya memiliki nilai eksotisme dan magis sehingga dicari-cari oleh wisatawan. Ada ketergiuran para penyedia jasa pariwisata pun kemudian menawarkan paket-paket tiruan seni sakral tersebut. pertunjukan barong-rangda dengan unying (tari keris) adalah salah satu contoh klasik profanisasi yang terjadi (Lihat bandem dan deBoer, 1981:145-150).
Kiranya idealisme untuktidak mengkomersialkan tari wali dan bebali tidak bisa dijalankan sepenuhnya. Sekarang pertunjukan-pertunjukan untuk pariwista sudah mulai mempertontonkan imitasi tari Sag Hyang Dedari; Sang Hyang Jaran, Calonarang, dan sebagainya. Dan yang terakhir berkembang adalah istilah pertunjukan kemasan baru sebagai gabungan aspek prossi ritual dengan pagelaran berbagai jenis pertunjukan secara simultan seperti wayang, tari cak api, joged bungbung, dan pertunjukan selama makan malam berupa legong, beberapa tari lepas dan drama tari barong. Pertunjukan seperti ini kerap dilakukan dalam paket wisata puri (keraton) berupa royal dinner seperti yang dilakukan di puri Mengwi, Kerambitan dan ditiru oleh puri-puri lain. Hotel-hotel besar ketika menyelenggarakan konvensi atau gala dinner juga kerap memakai pertunjukan kemasan baru. Tekanan pasar untuk senantiasa menawarkan sesuatu yang baru akhirnya berpengaruh pada penciptaan jenis-jenis pertunjukan baru.
sumber
0 komentar:
Posting Komentar